Sabtu, 24 Mei 2008

Bekantan masih terlihat Berkeliaran di Pedalaman Kalsel


Balangan (ANTARA News) - Kera besar khas Kalimantan, Bekantan alias Kera Hidung Besar (nasalis larvatus), masih banyak yang hidup berkeliaran di kawasan desa-desa terpencil Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

Sejumlah warga di bilangan Desa Inan, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan, Kalsel, mengemukakan bahwa mereka sering menghalau sekelompok kera yang menjadi maskot Kalsel tersebut.

"Kera bekantan masih banyak berkeliaran di wilayah desa kami, bahkan warga kami menganggap kera besar ini sebagai hama tanaman," kata Aliansyah, penduduk desa yang berada di kawasan lereng Pegunungan Meratus.

Lantaran dianggap menjadi satwa penggangu tenaman, maka kera berhidung besar yang asli Kalimantan tersebut sering di-"gariti" (diburu), bahkan ada yang dibinasakan warga.

"Belum lama tadi satu ekor kera bekantan sebesar manusia diburu lalu dibinasakan, karena memangsa tanaman karet unggul yang baru ditanam di kebun," kata salah seoramh warga desa tersebut.

Kemarahan warga terhadap kera bekantan ini sudah tak terelakkan lagi, karena binatang ini terbilang rakus mengganggu tanaman warga.

Sebatang pisang saja kalau seekor kera besar ini mengambil buahnya, maka batang pisang itu akan rubuh dan mati,karena tak sanggup menahan berat kera ini.

Bekantan bukan saja memakan buah-buahan, tetapi sering memakan daun daun karet yang baru ditanam, padahal karet yang ditanam itu bibit unggul yang dibeli petani dengan harga mahal. sehingga warga kesal kalau dimangsa pengganggu ini,

Kera hidung besar yang sering disebut sebagai kera Belanda itu, selama ini hanya dikenal hidup di pesisir khususnya di Pulau Kaget Barito Kuala yang dikenal sebagai objek wisata, suaka margasatwa.

Bekantan termasuk binatang yang dilindungi, dan pernah ditangkarkan di Kebun Binatang Surabaya (KBS). (*)

Banjarmasin, Kompas - Hewan maskot Kalimantan Selatan yang dikenal sebagai "monyet belanda" atau bekantan (Nasalis larvatus) kini populasinya nyaris punah, hanya tersisa sekitar 200 ekor. Penyebabnya karena perdagangan bekantan hingga kini masih marak serta akibat langkanya makanan berupa dedaunan pohon rawa dan mangrove akibat dibabat untuk industri kayu.

Pemerhati binatang endemik Kalsel, Akhmad Arifin, di Banjarmasin, Senin (29/3), menyatakan, saat ini populasi bekantan sudah mendekati SOS (save our soul). "Sekarang tinggal sekitar 200 ekor saja. Dulu tahun 1999 masih terdata sekitar 400 ekor," ungkapnya.

Selama lima tahun, laju kepunahan bekantan yang dikenal sebagai monyet hidung panjang tersebut mencapai 200 ekor. "Ini terjadi karena selain faktor makanan yang langka juga faktor perburuan bekantan yang hingga kini masih marak," ujarnya.

Bekantan merupakan primata endemik khas Kalimantan, yang selain dapat ditemui di Kalsel juga ditemui di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Bekantan termasuk binatang dilindungi berdasarkan ordonansi Perlindungan Binatang Liar Nomor 134 Tahun 1931.

"Binatang ini sangat sensitif dan sulit bertahan hidup di daerah yang bukan habitatnya," tutur Arifin. Penyebaran bekantan sangat terbatas di hutan pantai, rawa mangrove, rawa air tawar, dan hutan tepi sungai.

Arifin menandaskan, faktor yang mempercepat penurunan populasi adalah gangguan habitat serta perburuan. Bekantan, antara lain, diselundupkan ke Kanada dan Amerika. Di Banjarmasin, perdagangan juga marak. Harga per ekor berkisar Rp 75.000 sampai Rp 150.000.

Kepunahan bekantan dipercepat dengan langkanya makanan bekantan. Makanan pokok 95 persen berupa dedaunan dan buah. Dedaunan yang menjadi makanannya adalah beringin, rambai, bakau, perapat, api-api, piai, dan bakung.

"Pepohonan yang daunnya dapat dimakan bekantan banyak ditebang untuk bahan baku industri kayu," ungkap Arifin. Di hutan Kuala Pudak Barito Kuala, hutan rambai dibabat untuk industri perkayuan. Pohon bakau juga habis ditebang untuk kayu bakar. (amr)

Tidak ada komentar: